11 Februari 2013

hanya uneg-uneg di tengah malam...dilema menjadi Guru.

Mendadak inget dan kebelet ingin meluapkan uneg-uneg yang pernah mampir duluuu 4 tahun yang lalu...

Mendidik buat Saya berbeda dengan mengajar. Itulah mungkin salah satu sebab Saya tidak comfort sebagai guru. Dulu, ketika Saya berprofesi sebagai Guru, seakan-akan ada sebuah tuntutan agar anak didik mendapat nilai bagus, tidak berbunga mawar diraport. Jujur, sangat berat untuk Saya memberikan nilai yang bagus kalau memang si anak tidak bisa. Bukan karena saya jahat atau tidak suka dengan peserta didik yang tidak menyukai mapel yang saya ampu, tidak, Saya meyakini, jika anak didik tidak lulus dalam mapel yang kita ampu, maka bisa jadi di mapel yang lain dia mendapat nilai tinggi. Tapi sungguh disayangkan, sistem pendidikan di Indonesia tercinta tidak menghendaki demikian, setiap peserta didik HARUS lulus dengan nilai rata-rata 7. Jika sebuah sekolah tidak bisa meluluskan peserta didik maka sekolah dianggap impoten dan harus mendapat perlakuan khusus dari dinas pendidikan kota/daerah setempat. Lantas, apa hakikat dari sekolah? secara kasat mata, Sayapun bisa membaca, Sekolah hanya untuk mendapatkan ijasah, titik. Dan jangan salahkan guru, jika kualitas generasi mendatang hanya sebagai mesin, robot. Sekali-sekali jangan pernah salahkan Guru..

pra sekolah, Iqo

Setiap anak memiliki keistimewaan tersendiri.. Syifa, punya khas sendiri, begitu juga Iqo... Agak surprise buat saya, ditengah-tengah kesibukan mengurus adiknya Iqo, Amri, Saya sangat yakin, Iqo tidak terlalu saya pegang tapi Alloh ternyata memberi sebuah keindahan. Di usianya yang belum genap 4 tahun, Iqo banyak memberi surprise buat Saya. Iqo lebih mandiri, berani, dan bisa ngemong adiknya.
Dan ini salah satu keindahan yang lainnya, tanpa disadari, kesukaan Iqo bermain game, membuat Iqo bisa berhitung dan mengerti penjumlahan hingga lima. Kesukaan Iqo "bermain" di Mushola juga membawa hikmah tersendiri, Iqo sudah hapal huruf hijaiyah hingga "ya", dalam jangka waktu beberapa bulan saja, pdahal rutinitas Iqo ke Mushola tidak kontinue. Kalau Saya perhatikan, antusias Iqo untuk belajar secara akademis lebih mantap dan kuat.

Jujur, saat ini pun saya dibingungkan dengan keinginan Iqo untuk SEKOLAH... hhmmm... untuk yang satu ini Saya masih menunda, meski Iqo lebih mandiri, tapi Saya meyakini, usia 7 tahun usia yang ideal untuk terjun ke Sekolah Dasar. Sedangkan untuk pra sekolah, Saya masih prefer untuk ke TPA saja, biarlah Iqo lebih awal mengetahui huruf hijaiyah dibanding huruf latin, biarlah Iqo lebih awal menghapal do'a-do'a dibanding harus hapal nyanyian anak-anak, biarlah Iqo puas dengan timing bermainnya.